Minggu, 18 November 2012

palembang

Sekilas Tentang Palembang

Sebagai anak manusia yang lahir dan besar di Palembang, saya menyadari betul akan kurang lebihnya orang Palembang. Saya katakan secara umum, orang Palembang tidak mudah membuka diri dengan orang yang baru dikenal, dengan kata lain “butuh proses”, sama halnya dengan orang Jepang. Kalau dibandingkan dengan orang Jawa ato Sunda, sungguh kelihatan bedanya. Umumnya orang Jawa ato Sunda lebih welcome terhadap orang yang baru, lebih mudah akrab dan terbuka.
Sebagai orang yang lahir dan besar di Palembang dan pernah tinggal di Bogor dan di Jogja untuk menimba ilmu, saya melihat bahwa setiap suku ada baik dan buruknya semua, tinggal saya sebagai manusia yang diberi akal memilah dan memilih mana yang baik dari suku saya dan mana yang baik dari suku lainnya, adapun yang jelek dibuang saja.
Sifat terlalu curiga dan berhati-hati terhadap orang baru pada diri orang Palembang umumnya menjadikan hubungan awal berkesan kaku dan terlalu mudah akrab dengan orang yang barupun seperti umumnya orang Jawa dan Sunda mengakibatkan kita kurang bersikap waspada terhadap hal buruk yang kemungkinan akan terjadi. Ujung-ujungnya sedang-sedang ajalah (mirip lagunya Vety Vera, red).
Kalau soal makan memakan^-^, orang Palembang paling doyan makan, sama kayak orang Jepang. Segala rasa ada, dari asem, manis, asin sampe pedas, lengkap jadi satu. Menu andalannya mpek-mpek dengan rasa cukanya yang khas. Sebenarnya banyak sekali makanan khas Palembang, ada yang namanya laksan, celimpungan, model ikan, model gendom, tekwan, burgo, lenggang, mie celor dll. Wahhh, kalau saya pulang ke Palembang, banyak sekali makanan yang bisa saya santap.
Kalau dilihat dari keseriusan dalam bekerja, umumnya orang Palembang kalah serius dengan orang Jawa. Orang Jawa terkenal “ulet”, umumnya orang Palembang rada nyante, masih suka mengandalkan harta orangtua. Begitu kira-kira menurut pengamatan saya…tapi yang jelas wanita-wanita Palembang umumnya lebih setia dan mau mengurusi suami^-^. Di atas semuanya, manusia ada dua semua, baik orang Jawa ato Sunda, Palembang ato yang lainnya ada dua semua, tingal bagaimana kita memilih orang yang cocok dengan kita.
Dua taon yang lalu saya menikah dengan seorang lelaki yang berasal dari Semarang dan besar di Jogja. Sebelum ada rencana menikah, calon suami saya bertanya “Kira-kira berapa uang mas kawin yang harus saya persiapan?” saat itu saya bilang semampunya aja, saya tidak mematok berapa. Di dalam hati, saya bingung juga karena budaya Jawa umumnya memberi uang kepada pihak mempelai sekitar 1-5 juta, selebihnya pihak wanita yang menambahkan bila ada kekurangan di sana-sini. Sedangkan budaya Palembang apalagi di keluarga saya sekitar 5 juta ke atas. Walupun dari orangtua saya tidak matok berapa-berapanya tapi setidaknya pihak calon besan mikir sendiri. Saya terus terang bingung menjelaskan hal begituan kepada calon suami karena membicarakan soal uang sifatnya rada sensitif. Akhirnya calon suami bertanya “Dulu kakak ipar saya ngasih berapa ke kakak perempuan saya?” saya bilang “50 juta”. Calon suami saya kaget alang kepalang tapi berkat bantuan Allah, Dia mudahkan permasalahan calon suami saya dalam soal keuangan.
Ada sebuah cerita dimana perbedaan budayapun bisa menimbulkan berbagai persepsi. Tiga bulan pertama setelah menikah, sayapun tinggal di rumah ibu suami. Tak ada masalah yang berarti karena saya dan ibu sama-sama suka cerita, bisa dibilang cocoklah, masak bareng dan ngobrol bareng. Sampai pada suatu ketika, suami saya membantu saya menyapu halaman rumah, saya menyapu halaman depan dan suami saya menyapu halaman belakang. Tiba-tiba bapaknya datang dan mengatakan “itu bukan pekerjaan suami”. Saat itu saya bilang sambil bercanda bahwa suami istri itu harus saling bantu. Lain hari, suami saya mengambilkan makanan buat saya karena suami tau kebiasaan saya kalo sudah capek males makan, ternyata sang ibu berkomentar kepada suami bahwa di Jawa gak ada istilah suami ngambilin makanan buat istri, justru istri yang harusnya melayani suami.
Perbedaan-perbedaan budaya antar daerah bisa memicu ketidakharmonisan keluarga. Untuk itu diperlukan jiwa yang besar dan sikap yang dewasa dalam menanggapi omongan-omongan yang dapat memicu prahara rumah tangga. Untunglah suami saya seorang yang terbuka dan mau bertukar fikiran sehingga omongan-omongan yang bisa menimbulkan emosi sesaat tidak menimbulkan prahara antara saya dan suami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar